Jawa
Tengah
Provinsi Berketahanan Pangan yang
Tinggi
Bak
sebuah orkestra yang harmonis, di bawah koordinasi Gubernur Bibit Waluyo, iklim
pembangunan di Jawa Tengah pun semakin kondusif. Semua stakeholder saling
bekerjasama, termasuk dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan.
Kini
Jawa Tengah termasuk salah satu provinsi yang “sangat tahan” dalam Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Predikat tersebut diluncurkan oleh
Dewan Ketahanan Pangan – Kementerian Pertanian (Kemtan) di Gorontalo Oktober
2011 lalu. Dalam peta tersebut, pada tahun 2010, hanya ada 1 kabupten yang
berwarna hijau muda (tahan pangan), sedang 28 Kabupaten dan 6 kota yang lain di
Jawa Tengah berwarna hijau tua (sangat tahan).
Disamping
kepiawaian Sang Pemimpin (Gubernur – red), prestasi itu juga tidak dapat dilepaskan
dari tangan dingin Ir. Gayatri Indah Cahyani, Msi, Kepala Badan Ketahanan
Pangan (BKP) Provinsi Jawa Tengah. Menurutnya, kemantapan program Ketahanan
Pangan di Jawa Tengah ialah karena program tersebut sinkron dan masuk dalam
program besar Pemda Jateng “Bali nDesa,
mBangun Desa”.
“Gubernur
kami, di setiap kesempatan bertemu dengan pejabat dan masyarakat selalu
menganjurkan pemanfaatan tiap jengkal tanah untuk ketahanan pangan. Dengan
kesuburan lahan yang dimiliki, maka aneka tanaman dapat tumbuh. Pak Gubernur
selalu menyarankan agar masyarakat dapat memanfaatkan kondisi itu untuk
pengembangan diversifikasi pangan, tidak beras saja, tapi juga jagung,
ubi-ubian, buah serta sayuran dan sebagainya,” papar Gayatri.
Maka
tak heran, kalau skor Pola Pangan Harapan (PPH) Jawa Tengah terus meningkat.
Tahun 2006 baru 80, pada tahun 2007 menjadi 82,08, tahun berikutnya naik 83,26,
tahun 2009 naik sedikit jadi 83,7 dan pada tahun 2010 menjadi 86,02. Besarnya
kepedulian Gubernur Bibit Waluyo, juga telah berhasil mengantarkan berbagai komponen
masyarakat Jawa Tengah untuk menerima penghargaan Ketahanan Pangan Nasional.
Pada
tahun 2008 tercatat Bupati Boyolali, Pondok Pesantren “Al Hikmah” Brebes dan
Gapoktan “Sumber Makmur” Magelang, berkunjung ke Istana Negara untuk menerima
penghargaan dari Presiden. Pada tahun 2009 giliran OKKPD Provinsi Jawa Tengah,
KWT “Sekar Arum” Cilacap,Pondok Pesantren “Bina Insani” Semarang dan Gapoktan
“Sigedong” Temanggung mendapat penghargaan Nasional. Sedang pada tahun 2010
yang diantarkan ke istana untuk menerima penghargaan adalah Bupati Demak, KWT
“Budi Rahayu” Blora dan KWT “Barokah” Boyolali.
Peningkatan
Akses Pangan Masyarakat
Akses pangan sebagai salah satu pilar utama ketahanan
pangan. Masalah akses pangan di masyarakat atau wilayah dapat disebabkan karena
adanya masalah pada akses fisik maupun ekonomi. Masalah ”akses fisik” misalnya disebabkan
kelangkaan komoditas pangan karena berkurangnya produksi dan terganggunya
transportasi. Sedangkan masalah ”akses
ekonomi” umumnya dikarenakan rendahnya pendapatan masyarakat untuk
membeli bahan pangan. Kondisi akses
pangan masyarakat Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
Jumlah penduduk
miskin di Jawa Tengah dalam kurun waktu tiga tahun (2008–2010) terus mengalami
penurunan. Penurunan jumlah penduduk miskin tahun 2009 dibanding tahun 2008
menurun sebanyak 464 ribu orang (7,50%), tahun 2010 dibanding tahun 2009
menurun sebanyak 356,5 ribu orang (6,23%), walaupun secara persentase jumlahnya
masih cukup tinggi yaitu 16,56 %.
Dengan
koordinasi yang berjalan dengan baik di Jawa Tengah, serta kepedulian
agribisnis dan dunia pedesaan yang tinggi dari sosok Sang Gubernur, maka
tidaklah berlebihan jika dikatakan; “meski dunia diancam krisis pangan, tapi di
Jawa Tengah tidak akan terjadi krisis pangan”.
Semoga.***
“Bali Ndeso Mbangun Deso”
Kesejahteraan pun Mengalir di Pedesan
Keterlibatan
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan di Jawa Tengah dipertegas dengan
program “Bali Ndeso Mbangun Deso”.
Melalui
program khas Gubernur Bibit Waluyo itu, orientasi pembangunan diarahkan ke pedesaan secara menyeluruh,
termasuk pengembangan SDM dan SDA.
Dalam konteks ini, segenap potensi masyarakat Jawa Tengah dikerahkan, mulai dari pengetahuan,
keterampilan, teknologi
dan informasi, untuk
ditularkan kepada masyarakat pedesaan.
Berbagai pelatihan dan penyuluhan pun digiatkan, termasuk
dalam rangka pemantapan ketahanan pangan. Disamping itu, dilaksanakan juga program pendidikan bagi
masyarakat di lokasi “Desa Mandiri
Pangan (DMP)”.
Sampai 2010, Jawa
Tengah telah melaksanakan Program Aksi Desa Mandiri Pangan di 144 desa yang
dibiayai dari APBN (109 desa) dan APBD (35 Desa). Lokasi DMP
tersebar di 31 kab/kota (Surakarta dan Semarang). Dari 144 desa yang sudah mandiri
sebanyak 78 desa. Sampai dengan 2011 jumlah desa sebanyak 222 desa.
Prestasi
lainnya ialah pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat yang sudah lama dilakukan di Jawa
Tengah. Kini jumlahnya
telah mencapai 7.463 unit (masih aktif
sebanyak 605 unit).
Sejak tahun 2009 Provinsi Jawa Tengah melalui anggaran
APBD memberikan fasilitasi kepada 69 unit lumbung antara lain berupa: pengisian
bahan pangan (gabah), dan sarana lumbung (timbangan, tester, mesin jahit
karung, gerobag dorong dan terpal) dengan nilai berkisar Rp. 20 juta – Rp. 32,5
juta. ***
Produktifitas Pertanian Jawa Tengah
Komoditas utama pertanian Jawa Tengah yaitu padi, jagung dan kedelai. Ketiganya mengalami
peningkatan dibanding Tahun 2009. Produksi padi tahun 2010 mencapai 10,11
Juta Ton (rata-rata pertumbuhan 5,2%). Surplus beras tahun 2008 sebesar
2,3 juta ton meningkat menjadi 2,9 Juta Ton tahun 2010; Produksi jagung 3,06 Juta Ton (rata-rata
pertumbuhan 7,07 %); Produksi kedelai
187,992 Ribu Ton (rata-rata pertumbuhan 6,08%).
Di bidang perkebunan, sepanjang tahun 2008 -
2010 telah terjadi
peningkatan produksi kopi yang mencapai 16,22 ribu ton (rata-rata pertumbuhan 6,55%) dan kelapa (kopra) 179,49 ribu ton (rata-rata pertumbuhan 1,2%). Produksi gula pun dipacu. Bila tahun 2008 sebesar 247.239 ton, ditargetkan menjadi 280.000 ton di tahun 2011, dan akan mencapai swasembada
gula Jawa Tengah pada 2013.
Dalam
rentang waktu 2008 – 2010 itu
juga, produktifitas peternakan pun mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 produksi daging meningkat
sebesar 228,19 juta kg, atau naik 24,17% dibanding 2008. Produksi susu 100,15 juta liter (naik 11,38%), produksi telur 250,23 Juta Kg atau
naik 30,76% dibanding
tahun 2008.***
Hortikultura
dan Dampak Globalisasi
Riuhnya Pertarungan, Impor vs Lokal
Banyak
faktor yang menyebabkan tidak kondusifnya agribisnis hortikultura di tanah air,
mulai soal infrastruktur, pungli, hingga politik dagang internasional.
Lalu
apa yang harus dilakukan…?
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu,
pada sebuah wilayah di Kabupaten Pasaman – Sumatera Barat, para warga bersuka
ria. Tanaman jeruk (keprok siem) yang mereka kelola memberikan hasil yang
menggembirakan bagi perekonomian keluarga. Masa itu bertepatan dengan awal
berdirinya sebuah direktorat jenderal baru dalam jajaran pembangunan pertanian
yang khusus menangani hortikultura. Waktu itu, dalam beberapa hari sekali,
seorang petani bisa mengirim satu truk jeruk ke pasar Kramat Jati – Jakarta, atau
ke Pekan Baru dan Batam.
Tapi kebahagiaan dan harapan ratusan
warga daerah tersebut ternyata tidak berlangsung langgeng. Kini bahkan sulit mencari
jeruk yang sama di daerah itu. Hal serupa juga dialami oleh petani jeruk di
Berastagi, Sumatera Utara. Begitu kesohornya jeruk Berastagi hingga konsumen di
Jakarta biasa menyebutnya “jeruk Medan”.
Ternyata
hilangnya jeruk Medan karena memang karena sektor produksi tidak bergairah. Sudah
dapat ditebak, karena harga yang tidak mampu bersaing dengan buah-buahan Impor.
Alhasil, bagi petani, menanam jeruk Medan merugikan. Harga sering jatuh dan
konsumen lebih suka jeruk asal Mandarin (China).
Banyak
faktor yang menyebabkan tidak kondusifnya agribisnis hortikultura, terutama
buah-buahan di tanah air. Diantaranya adalah infrastruktur yang tidak
mendukung, misalnya membawa Jeruk Medan ke Jakarta jauh lebih sulit dan mahal
dibandingkan dari China ke Jakarta.
Selanjutnya
ialah pungli. Berapa banyak pos pungli yang dilewati truk pengangkut barang
hingga sampai ke Jakarta?
Sementara
politik dagang internasional –dimana Indonesia ikut menyepakatinya-- baik
secara langsung maupun tidak, telah membuat republik ini terjebak tak berdaya
menghadapinya. Buktinya, buah impor dari berbagai negara begitu leluasa
membanjiri pasar tradisional di Indonesia. Meski sejumlah pihak menyatakan
prosentasenya terbilang kecil di pasaran, namun tak tertutup kemungkinan,
volumenya akan membesar dan makin merajalela. Lihat saja, jeruk Mandarin,
lengkeng Thailand, apel Fuji dan sebagainya, dengan bangganya dijajakan di atas
kereta api ekonomi Jabodetabek.
Buah impor terbesar adalah jeruk
mandarin sebanyak 68.194 ton atau 20% dari total impor buah. Diurutan kedua
adalah durian sebanyak 20.615 ton. Jumlah ini diperkirakan semakin meningkat
dalam dua tahun terakhir ini. Indikasi paling sederhana bisa dilihat dari
menjamurnya kios buah yang menjual berbagai buah impor.
Dampak Globalisasi
Seperti
pernah dilansir di sejumlah media, Himpunan Alumni IPB geram terhadap kondisi
terpinggirkannya buah lokal karena beberapa aspek. Ketua Himpunan Alumni IPB,
Said Didu mengatakan kondisi itu disebabkan oleh kurang tersedianya benih
berkualitas dalam jumlah memadai, lemahnya kegairahan petani baru untuk produk
buah-buahan. Juga kurang memadainya infrastruktur logistik buah. Menurut Said, perlu ada gerakan yang
massif dan sistematika agar konsumsi buah lokal dicintai di negerinya sendiri.
Menurut Direktur Budidaya dan
Pascapanen Buah Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Sri Kuntarsih,
kuatnya arus globalisasi menjadi faktor persoalan ini sulit diatasi. Di sisi
lain data PDB menyebutkan buah nasional selama 2005 - 2010 naik sebesar 63,5
persen begitu juga produksi buah naik di kurun lima tahun terakhir hingga 29,21
persen. Menurut Sri, minimnya minat konsumen dan ketersediaan buah lokal
terutama di pasar modern juga menjadi penyebab produk dalam negeri kalah
bersaing.
Sementara Ketua Dewan Hortikultura
Nasional Benny Kusbini mengungkapkan, hingga akhir 2011, nilai impor
hortikultura mencapai sekitar 20 triliun rupiah karena pada Januari-Oktober
2011 sudah 17,61 triliun rupiah. Cukup besarnya nilai impor itu merupakan
akibat dari ketidakmampuan Indonesia memanfaatkan potensi yang ada. Sementara
volume impor berbagai jenis benih hortikultura pada tahun 2012 diperkirakan
meningkat 19,8 persen menjadi 4.900 ton dibandingkan dengan perkiraan 2011 yang
mencapai 4.090 ton.
Pembatasan Impor
Salah-satu jalan yang ditempuh untuk
mengamankan kelangsungan dunia agribisnis ialah strategi pembatasan impor. Hal
itu terkait maraknya buah atau produk hortikultura impor akhir-akhir ini.
Kementerian Pertanian memastikan akan
melakukan pembatasan impor masuk produk hortikultura, seperti sayuran dan buah,
bakal dimulai Maret 2012. "Kebijakan ini efektif berlaku Maret nanti. Saat
ini kita mulai melakukan sosialisasi dan menyiapkan karantina yang kuat untuk
mengontrol masuknya produk impor produk hortikultura," kata Menteri
Pertanian Suswono.
Jadi, selama tiga bulan setelah
Peraturan Menteri No 88/Permentan/PP.340/12/2011 (tentang pengawasan keamanan
pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan)
diberlakukan, Kementerian Pertanian melakukan berbagai persiapan, di antaranya
memperketat produk impor yang masuk serta menguji karantina untuk tes kesehatan,
keamanan, serta keselamatan setiap produk hortikultura yang masuk.
Selama sepekan, setelah
ditandatangani, Kementerian Pertanian memusnahkan produk kentang impor asal
Prancis dan China sebanyak 542 ton atau setara 21 peti kemas karena ditemukan
kandungan bakteri penyerang tanaman kentang. Suswono mengatakan pemusnahan
dilakukan karena produk hortikultura tersebut membahayakan. Sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri Pertanian tersebut, pelabuhan masuk produk
impor hortikultura dikurangi dari delapan menjadi empat.
Suswono menambahkan pelabuhan yang
boleh menjadi pintu masuk produk pertanian, terutama buah dan sayuran,
ditetapkan di Pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya, Belawan-Medan, Makassar, dan
Bandara Soekarno Hatta. Adapun Pelabuhan Tanjung Priok tidak ditetapkan sebagai
jalur masuk karena kondisinya sudah melebihi kapasitas.
Ditambahkannya,
bahwa impor buah dan sayuran tidak akan dikuotakan, tetapi diperketat melalui
pemeriksaan Karantina. Pengetatan impor hortikultura itu, katanya, akan diikuti
oleh regulasi dari Kementerian Perdagangan. Kepala Badan Karantina Kementan
Banun Harpini mengatakan pihaknya akan segera mengeluarkan persyaratan teknis
yang mengatur jenis, waktu dan volume impor hortikultura.
Ketua Umum Asosiasi Produsen
Perbenihan Hortikultura Indonesia, Afrizal Gindow mengatakan, strategi
pengetatan impor yang dilakukan pemerintah melalui sejumlah peraturan akan
berhasil jika nilai impor produk hortikultura menurun pada tahun depan.***
dari berbagai sumber
Ketahanan Hortikultura
Perkuat
Produksi, Pasarpun Disiasati
Jika masalah dalam negeri bisa
diatasi dengan baik (mulai dari segi ketersediaan, kualitas, pasar dan distribusi,
permodalan, hingga upaya promosi untuk mempengaruhi mindsett konsumen), maka dengan sendirinya berbagai produk hortikultura impor
tidak akan merajalela di pasar lokal.
Sebuah
surat elektronik, yang ditulis oleh Dr. Ir. Yul Harry Bahar, Oktober 2010,
sampai kini masih ter-posting di
dunia maya. Melalui jejaring sosial tersebut, Yul – yang sekarang adalah
Direktur Budidaya Sayuran dan Biofarmaka di Ditjen Hortikultura itu menunjukkan,
bahwa lahirnya undang-undang Undang-undang
Hortikultura merupakan
suatu keberhasilan besar, tonggak sejarah dan dasar hukum penting dalam pengelolaan,
pengembangan usaha dan perjuangan pembangunan hortikultura ke depan.
Secara
tersirat, dengan telah adanya blueprint
hortikultura itu, Yul menghimbau, agar berbagai pihak bersemangat dan bekerja lebih
keras lagi.
“…Jajaran pimpinan Ditjen Hortikultura merasa bersyukur dan bangga
dengan lahirnya Undang-Undang ini, dan menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak yang
telah memberikan kontribusi positif dalam
lahirnya UU tentang Hortikultura ini. Selanjutnya kita perlu mengambil
langkah-langkah untuk mewujudkan misi, terobosan dan paradigma yang telah dimuat dalam UU tentang Hortikultura ini”.
“Mari kita rapatkan barisan mensinergikan
kegiatan untuk
melaksanakan dan mengamalkan Undang-undang ini, sehingga benar-benar
bermakna dalam pembangunan hortikultura.” Demikian kutipan bagian akhir surat
elektronik (e-mail) yang merupakan
refleksi seorang Yul H. Bahar atas keputusan politik yang telah dilahirkan di
DPR RI tersebut beberapa hari sebelumnya.
Kala
itu, Menteri Pertanian, Dr. Ir. Suswono, MMA, yang hadir mewakili
Presiden dalam Rapat Paripurna DPR tersebut untuk menyampaikan pendapat
akhir. Menteri menyatakan, Undang-undang ini sangat strategis dan penting karena
melindungi rakyat dan negara untuk mengembangkan hortikultura. Beliau
menyampaikan terima kasih atas keputusan politik ini, atas kesediaan DPR
menerima usulan masyarakat yang diajukan oleh DHN (Dewan
Hortikultura Nasional) dan
menetapkannya sebagai hak inisiatif DPR RI.
“Mari Kita Dukung”
Awal
tahun lalu, pada sebuah Mall di kawasan Pejaten, SWADAYA bercengkerama dengan
Dr. Ir. Ahmad Dimyati. Mantan Dirjen Hortikultura itu mengatakan bahwa aneka
produk hortikultura, terutama buah dan sayuran, dalam UU – Hortikultura telah
ditegaskan, merupakan bagian dari bahan pangan pokok. “Jadi bicara pangan,
tidak hanya karbohidrat saja. Artinya, pengembangan dan pengaturan komoditas
buah dan sayuran saat ini menjadi suatu yang tak kalah penting untuk diurus.
Menyikapi
maraknya pemberitaan produk hortikultura, antara impor vs lokal, seperti kondisi beberapa waktu terakhir ini, Dimyati
berpendapat, bahwa pemerintah bersama dunia usaha harus berinisiatif secara
lebih gesit lagi.
Lebih
jauh dijelaskannya, bahwa pembangunan hortikultura harus dilakukan secara telaten,
komprehensif dan terpadu. Pasalnya, sesungguhnya dari segi keragaman komoditas,
Indonesia memiliki potensi yang besar. Seperti contoh, manggis misalnya,
sebenarnya Indonesia bisa berproduksi sepanjang tahun, sesuai dengan variasi
musim yang dimiliki masing-masing daerah. Begitu juga durian, mangga dan
sebagainya. Tanpa disadari kalangan awam, sebenarnya republik ini memiliki
jadwal (musim) produksi, dari ujung Nagroe Aceh Darusalam (NAD) hingga Merauke
(Papua).
Seperti
dijelaskannya tadi, memang, pengelolaan hortikultura harus secara komprehensif
serta saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Di hilir, dalam hal pasar
dan konsumsi, dibutuhkan kampanye secara massif untuk mempengaruhi mind sett anak bangsa dalam mengkonsumsi
buah tropika nusantara. Di sisi lain, jika produksi di berbagai kawasan (sentra
agribisnis hortikultura) tertata dengan baik (diantaranya soal Supply Chain Management/ SCM), maka
masalah pasokan pasar di dalam negeri pun akan kuat. Alhasil, dengan sendirinya
produk hortikultura impor tidak akan merajalela.
“Dengan
payung hukum UU – Hortikultura yang sudah ada, kita diamanatkan untuk lebih
seksama mengatur dan mengembangkan agribisnis hortikultura, mulai dari
produksi, distribusi, sampai konsumsi,” ungkapnya.
Menurut
Ahmad Dimyati, dari segi kelengkapan, strategi pembangunan dan sebagainya,
sebenarnya pelaksanaan pembangunan sudah disiapkan sejak masa Dia menjadi orang
nomor satu di jajaran pembangunan hortikultura nasional dulu, termasuk dengan
lahirnya UU - Hortikultura. “Sebenarnya perangkatnya sudah siap. Sayangnya
waktu itu semua dilaksanakan dalam kondisi yang serba terbatas. Tapi sekarang
kondisinya sudah lebih baik, termasuk dari segi struktur anggarannya,” jelas
Dimyati sembari mengajak semua pihak untuk mendukung dan mendoakan agar upaya
yang dilakukan oleh jajaran pembangunan hortikultura nasional mampu membuahkan
hasil yang maksimal.
Semoga. ***
Kilas
Sentra Produksi
Membangun Etalase Jeruk Siam Banjar
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan
memang oke.. Sadar akan potensi
hortikultura yang dimilikinya, maka sejak beberapa waktu terakhir tengah
dilakukan Program Inisiasi Perbaikan Mutu Jeruk Siam Banjar. Seluas 25
hektar di lahan pasang surut Desa
Pejambuan, Sungai
Tabuk, dijadikan etalase
Jeruk Siam Banjar Kalsel yang – konon-- rasanya paling
manis di Indonesia.
Menurut Kepala Bidang
Hortikultura - Dinas
Pertanian TPH Provinsi Kalsel, Ir. Djaelani, pilot proyek ini diharapkan mampu
mengembalikan citra jeruk Siam Banjar yang dulu nyaris punah akibat serangan CPVD tiga tahun silam serta Banjir 2009. Proyek
percontohan yang dikelola Kelompok Tani Karya Membangun – yang sebagian besar
anggotanya wanita -- itu
diharapkan akan
memberikan hasil yang maksimal mulai tahun 2015 mendatang.
Regenerasi Limau Madang
Limau Sungai
Madang adalah cikal bakal Jeruk Siam Banjar khas Kalimantan Selatan. Namun
akibat terendam Banjir pada
tahun 2009 lalu, hampir
80% tanaman jeruk di Desa
Sungai Madang mati total. Namun
sejak tahun 2011, semangat petani jeruk di daerah itu bangkit kembali. Mereka melakukan
peremajaan dan penataan lokasi
agar tidak lagi terendam banjir.
Ketua Kelompok
Tani Karya Membangun, H. Sabli berharapan, semoga kejayaan limau Sungai Madang bisa bangkit kembali.***
Ayi Kuswana, Kalsel
TARIF IKLAN MAJALAH SWADAYA
(TAHUN 2012)
FULL COLOUR (FC)
a.
Cover :
-
Halaman Belakang Luar Rp
10.000.000,-
-
Halaman Belakang Dalam Rp 7.500.000,-
-
Halaman Depan Dalam Rp 8.000.000,-
b. Halaman Dalam (Isi) :
-
1 Halaman Rp 6.000.000,-
-
½ Halaman Rp 4.000.000,-
-
¼ Halaman Rp 2.500.000,-
TARIF BERLANGGANAN
-
1 Tahun
(12 Edisi) Rp 240.000,-
-
½ Tahun (6 Edisi) Rp 120.000,-
-
3 Bulan
(3 edisi) Rp 60.000,-
Hubungi :
- majalahswadaya@yahoo.com
- denmustp@yahoo.com
- SMS 088 121 83 614
Gelombang Impor Pangan yang Makin
Tidak Terkendali
Oleh
:
Dr.
Sinis Munandar, MS*)
Tidak
ada yang salah apabila negara kita mengimpor barang yang dibutuhkan dari negara
lain, dan sebaliknya, negara lain juga mengimpor barang-barang dari negeri kita,
karena hal ini sudah menjadi kesepatan internasional yang diatur oleh WTO (World Trade Organization) mengenai
liberalisasi perdagangan atau perdagangan bebas.
Tetapi
yang menjadi tanda tanya adalah; mengapa kita sebagai negara agraris yang
semestinya mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan untuk masyarakatnya,
-- bahkan mestinya mampu mengekspor produk-produk pangan ke negara lain -- tetapi
yang terjadi adalah sebaliknya, dewasa ini kita menjadi negara pengimpor pangan
yang cukup besar?
Data
dari BPS mencatat, bahwa nilai impor bulan Januari – oktober 2011 untuk
komoditi buah, sayur, produk olahan dari buah dan sayur, serta minuman dan
produk makanan olahan lainnya mencapai Rp 17,61 trilliun. Dibanding dengan
periode yang sama tahun 2010 terjadi kenaikan sebesar 37,47 persen. Realisasi
impor beras 2,1 juta ton atau senilai Rp 10,6 trilliun (dengan kurs Rp 9.175 per dollar US). Impor
jagung sejumlah 2,9 juta ton atau senilai Rp 8,61 trililun, kedelai 1,7 juta
ton senilai Rp 9,38 trilliun, biji gandum 4,72 juta ton senilai Rp 17,03
trilliun, tepung terigu 0,55 juta ton senilai Rp 2,10 trilliun, gula pasir 0,17
juta ton senilai Rp 1,23 trilliun, gula tebu 1,89 juta ton senilai Rp 11,96
trilliun. Daging sejenis lembu/sapi sejumlah 80,089 juta ton senilai Rp 2,3
trilliun. Belum lagi masih banyak impor sapi hidup, susu, bibit komoditas hortikultura
dan yang lainnya.
Apabila
dijumlahkan impor komoditi pangan seperti diatas mencapai Rp. 80,82 trilliun.
Memang harus diakui pula bahwa kita juga melakukan ekspor seperti kelapa sawit,
karet, kopi, the, kakao dan lainnya yang sebagian besar adalah komoditi
perkebunan.
Dilihat
dari ketersediaan anggaran untuk pangan dari tahun ke tahun terus meningkat.
Berdasarkan data yang bersumber dari Kementerian Keuangan, total alokasi
anggaran ketahanan pangan 2012 sebagai berikut : anggaran sektor pertanian Rp
17,8 trilliun, program pengembangan sarana dan prasarana pertanian Rp 4,1
trilliun, pengelolaan sumber daya air Rp 8,2 trilliun, program peningkatan
produksi pangan Rp 2,9 trilliun, program pencapaian swasembada sapi Rp 2,6
trilliun, pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap Rp 1,3 trilliun,
subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin) Rp 15,6 trilliun, subsidi suku
bunga kredit pertanian Rp 1,2 trilliun, subsidi benih Rp 0,1 trilliun.
Disamping itu masih ada lagi penyediaan dana “korporasi” yang bersumber dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang ikut serta dalam pembangunan pangan/pertanian seperti dari PT. PUSRI, PT.
PERTANI, PT. SANG HYANG SERI, serta BULOG dalam upaya peningkatan produksi
padi. Ditambah lagi rencana pembukaan lahan baru untuk areal pertanian/pangan (food estate) di Kalimantan Timur seluas
250.000 Ha juga ada partisipasi pihak swasta, koperasi untuk ikut menangani
program tersebut.
Apabila
dilihat dari ketersediaan anggaran untuk membangun ketahanan pangan yang cukup
memadai, seharusnya minimal satu atau dua komoditi -- misalnya kedelai, jagung
bisa swasembada dalam satu atau dua tahun mendatang, dan tidak ada alasan untuk
tidak bisa mencapainya.
Kalau
hal ini tidak bisa dicapai, berarti ada yang salah, mungkin dalam perencanaan
atau pelaksanaannya. Dari uraian di atas ada baiknya bila kita merenung kembali,
apakah jalan yang kita tempuh dalam pembangunan ketahanan pangan/pertanian
selama ini sudah benar atau sudah sesuai dengan kehendak dan cita-cita
masyarakat agraris, yaitu mampu memproduksi kebutuhan pangan sendiri, baik
secara kuantitas maupun kualitas. Peranan pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten,
sangat penting bahkan sampai pada tingkat kecamatan dan desa. Inilah tugas pemerintah
pusat untuk menggerakkannya.***
*) Pengamat Pertanian,
mantan Kepala Badan Pengembangan SDM Pertanian, Dep. Pertanian.
Ir.
Sri Kuntarsih, MM
“Buah dari Petani, Wujud Nasionalisme
Kita”
Sebenarnya konsumen di Indonesia pun
lebih menyukai buah tropika nusantara, karena rasa, kandungan gizi dan aromanya
yang jauh lebih baik dibanding buah sub tropika (buah impor). Namun karena buah
dalam negeri yang tidak selalu tersedia di pasaran (bersifat musiman), akhirnya
konsumen terpaksa makan buah impor. Dalam jangka panjang ini mengakibatkan pergeseran selera.
Apa dan bagaimana dengan prospek buah
dalam negeri..? Berikut wawancara khusus SWADAYA dengan Ir. Sri Kuntarsih, MM, Direktur
Budidaya dan Pasca Panen Buah – Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian RI
menjelang penghujung Januari lalu.
Selama
ini kita melihat banyaknya buah-buahan impor di pasaran. Ada apa, dan bagaimana
agar buah-buahan kita tidak semakin terdesak..?
Ini merupakan PR (pekerjaan rumah)
bagi kita untuk dapat mengembangkan produk (buah-buahan) yang berkualitas,
bergengsi dimata konsumen, serta efisien. Sehingga mampu bersaing di pasaran.
Sebenarnya, bila kita lihat secara
statistik, dibanding total produksi buah yang dipasarkan dalam negeri, volume buah
impor itu sangat kecil. Memang, kalau kita melihat sekilas di pasar tertentu,
terutama di kota-kota besar, keberadaan buah impor tersebut sepertinya menyolok.
Sebenarnya konsumen itu suka dengan
buah dalam negeri seperti jambu, mangga,
sirsak dan sebagainya. Namun karena ketersediannya di pasaran tidak setiap
saat, maka konsumen mencari alternatif buah jenis lain. Nah….. karena buah
impor selalu tersedia, maka terjadi pergeseran selera. Ini dalam jangka panjang
memang dapat mengancam buah lokal.
Selanjutnya kita berupaya meningkatkan
kontinuitas pasokan, kualitas, promosi, serta upaya sosialisi untuk
meningkatkan apresiasi masyarakat akan buah dari negeri sendiri. Ini salah-satu
wujud nasionalisme kita.
Dengan
makin kerasnya persaingan pasar, bagaimana prospek buah-buahan kita..?
Indonesia sangat kaya dengan buah
tropis dan eksotis. Untuk itu sejak beberapa tahun belakangan pemerintah berupaya
meningkatkan daya saing buah-buahan nasional, antara lain pengembangan kawasan
buah, penataan kebun buah campuran melalui upaya penyeragaman varietas,
penyediaan teknologi sarana dan prasarana pascapanen.
Disamping itu kita perlu promosi dan sosialisasi untuk membiasakan
masyarakat mengkonsumsi buah setiap hari. Kampanye makan buah, terutama bagi
anak usia dini, perlu dilakukan. Berdasarkan survey, selama ini anak
kurang suka dengan buah segar, karena terbiasa mengkonsumsi buah olahan
dalam kemasan atau makanan cepat saji.
Apa
saja strategi yang harus dilakukan?
Kita perlu menumbuhkan kesadaran akan
keberadaan dan masa depan buah lokal. Kecintaan terhadap buah lokal menjadi
cerminan rasa nasionalisme. Dampaknya akan sangat luar biasa jika orang
Indonesia lebih memilih buah lokal Indonesia, mulai dari membaiknya
perekonomian petani buah, berkembangnya agribisnis buah, penghematan devisa,
dan sebagainya.
Promosi di luar negeri pun harus
dilakukan. Sebagai contoh salak misalnya, buah ini memiliki penampilan yang
eksotik. Lalu bagaimana caranya supaya go
global. Begitu juga mangga. Kita mempunyai mangga Arumanis yang
merupakan mangga paling enak dibanding jenis mangga apapun di dunia ini.
Hanya saja diperlukan promosi yang
berkesinambungan disertai manajemen produksi yang baik. Dengan promosi secara gencar
maka permintaan buah-buah tropika nusantara akan meningkat pesat.
Tidak banyak yang tahu, bahwa selama
ini secara tidak langsung buah tertentu telah dipromosikan oleh para TKI
(Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri. Waktu kembali dari tanah air (mudik –
red), dan saat itu bertepatan musim mangga, mereka membawanya sebagai
oleh-oleh. Tanpa disadari, sang majikan (di Hongkong, Arab Saudi, dll)
merasakan betapa nikmatnya mangga dari Indonesia dan berupaya untuk
mendapatkannya lagi.
Berarti
buah-buahan Indonesia sangat disukai oleh konsumen mancanegara. Lalu apa yang
harus dilakukan selanjutnya…?
Seperti saya sebutkan tadi, ketersediaan
produk perlu diperhatikan.
Kita harapkan, dengan berkembangnya
kawasan sentra buah-buahan, maka kontinuitas produksi akan dapat kita jaga. Namun
masalah utama yang menjadi kendala adalah karakteristik alaminya yang mudah
rusak dan busuk. Dalam hal ini dibutuhkan sentuhan pengetahuan dan teknologi penanganan
pascapanen serta dukungan sarana dalam pendistribusian.
Selain
itu, orientasi pasar buah hendaknya tidak terfokus pada pemasaran buah segar
saja. Diperlukan pengembangan yang industri makanan dan minuman olahan berbasis
buah-buahan yang mampu menyerap produksi buah lokal dalam jumlah besar. Untuk
menjamin pasokan bahan baku buah, maka – lagi-lagi, harus ada kawasan sentra
yang mampu memenuhi kebutuhan industri dalam skala besar.
Dari sekian banyak jenis buah
nusantara, komoditas apa saja yang menjadi fokus Kementerian Pertanian dalam pengembangan saat ini?
Ya…
potensi buah tropika kita sangat beragam. Namun dalam pengembangannya, untuk
saat pemerintah hanya memfokuskan pada komoditas tertentu saja, yakni mangga,
manggis, jeruk, durian dan pisang.
Padahal
menurut saya aneka jenis buah-buahan lain juga tak kalah peluangnya untuk
menang dalam persaingan pasar global, karena keunikannya.***
URGENTLY NEEDED
Majalah Agribisnis SWADAYA membuka Kesempatan bagi Tenaga Muda Kreatif & Enerjik untuk Menenpati posisi sebagai berikut :
1. TIM REDAKSI
2. MARKETING EXECUTIVE
Bagi yg Serius Kirimkan Biaodata Lengkap disertai Foto terbaru, Via E-mail atau Pos ke :
Redaksi & Tata Usaha Majalah SWADAYA
Jl. Tanjung Barat Selatan No. 20 F, Jakarta Selatan 12530
E-mail : majalahswadaya@yahoo.com
1. TIM REDAKSI
- Pria / Wanita
- Pendidikan S1/D3 Pertanian ( Agronomi )
- Usia Max. 30 tahun
- Berpengalaman dibidang Redaktur / Reporter
- Mampu bekerja dalam team
2. MARKETING EXECUTIVE
- Wanita
- Pendidikan S1 atau D3 semua jurusan
- Berpenampilan Menarik, Lincah dan Komunikatif
- Usia Max. 35 tahun
- Berpengalaman sebagai Marketing atau bagian Periklanan
- Mampu Bekerja dalam team
Bagi yg Serius Kirimkan Biaodata Lengkap disertai Foto terbaru, Via E-mail atau Pos ke :
Redaksi & Tata Usaha Majalah SWADAYA
Jl. Tanjung Barat Selatan No. 20 F, Jakarta Selatan 12530
E-mail : majalahswadaya@yahoo.com
Terobosan Baru Ekonomi Nasional
Peluang keuntungannya
berlipat ganda. Tampaknya, inilah trend baru dunia agribisnis nasional.
Berbagai daerah pun mulai bergerak…
Kecerahan
tampaknya membayangi dunia agribisnis nasional. Peluang ekonomi baru tersebut, kini
makin terbuka di beberapa daerah. Prospeknya pun sangat meyakinkan.
Seperti
diungkapkan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Ir. Syukur Iwantoro, MBA,
bahwa berdasarkan beberapa analisis, dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh
program integrasi antara peternakan sapi dengan perkebunan kelapa sawit sungguh
berlipat ganda.
Mengapa
tidak? Ditinjau dari aspek permintaan daging, ketersediaan pakan serta
pemanfaatan kotoran sapi (pupuk organik) dalam jumlah yang besar, maka
integrasi dua kegiatan agribisnis tersebut memang sudah saatnya digiatkan
secara nasional. Di sisi lain, produksi limbah pertanian (kelapa sawit – red)
yang sangat banyak merupakan sumber pakan yang ketersediannnya kontinue
sepanjang tahun.
Ada
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai faktor pembatas dalam
pemanfaatanya sebagai pakan. Limbah kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan oleh
ternak sebagai pakan adalah : pelepah sawit, lumpur sawit, bungkul inti sawit.
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pelepah sawit mengandung protein
sebesar 1,9%, lemak 0,5% dan lignin 17,4%,
Kombinasi serat buah (25%), BIS (15%) dan lumpur sawit (10%) dengan total
kontribusi 50% dapat digunakan untuk sapi.
Disamping
memanfatkan limbah hasil kelapa sawit, sapi yang intgerasikan dengan kelapa
sawit ini juga bisa memakan gulma yang berada di sekitar perkebunan kelapa
sawit. Tanaman penutup lahan (cover crop)
juga bisa dimanfaatkan sebagai hijauan.
Untuk
menunjang keberhasilan sistem integrasi ternak dengan perkebunan kelapa
sawit dibutuhkan teknologi tepat guna dan sosialisasi berkelanjutan dalam hal pengolahan
limbah perkebunan/pabrikan sebagai sumber pakan ternak, pengolahan kompos yang
berkualiatas dalam waktu pendek, pendugaan kapasitas tampungan lahan perkebunan
untuk jenis ternak tertentu, serta manajemen pemeliharaan ternak yang intensif.
Disamping
itu, ternak sapi yang diintegrasikan dengan kelapa sawit juga bisa dimanfaatkan
sebagai penarik gerobak maupun mengangkut hasil panenan kelapa sawit dan
kotoran sapi bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, yang mana pada akhirnya bisa
menghemat biaya produksi.
Semangat Baru
Semangat
“integrasi agribinis” pun telah berkibar di Sumatera Selatan, bahkan ini telah
berlngsung sejak beberapa tahun di Bumi Sriwijaya itu.
Tahun
2009 lalu, pemerintah provinsi itu pernah menyatakan, akan mengeluarkan Peraturan
Daerah (Perda) guna memaksa perusahaan besar perkebunan untuk mendukung program
integrasi sapi-sawit. Dengan Perda tersebut tidak ada alasan lagi bagi para
pengusaha perkebunan untuk menghindar dari program yang sebenarnya sangat
menguntungkan tersebut. Disamping itu juga untuk memenuhi target swasembada
daging Sumsel. Pemprov pun tidak main-main dengan program itu dan telah
menganggarkan dana dari APBD sebesar Rp 3,4 miliar.
"Sumsel
punya 640.000 hektare sawit. Jika 100.000 hektare saja diintergasi sapi, pada
tahun pertama sudah bisa menghasilkan 200.000 ekor sapi potong," tegas
Alex.
Menurut
dia, kebutuhan sapi potong Sumsel 12.000 ekor per tahun yang sebagian dipenuhi
oleh daging impor.
Memang,
pemerintah belum mewajibkan daerah melaksanakan program tersebut. Namun yang
menggembirakan, kini beberapa daerah sudah mampu melihat betapa besarnya
peluang ekonomi dari integrasi dua kegiatan agribisnis yang saling mendukung
antara satu dengan lainnya tersebut.
Lihat
saja Kalimantan Barat (Kalbar) misalnya. Pemerintah provinsi itu tampaknya
telah menangkap sinyal prospek cerah integrasi sapi dengan perkebunan kelapa
sawit bagi kemajuan ekonomi daerah di masa depan.
Saat
berkunjung ke daerah itu beberap waktu lalu, Menteri Pertanian Suswono menyatakan,
bahwa Kalbar memiliki peluang luas meningkatkan produksi sawit dan sapi, jika
program integrasi itu dijalankan. Menurutnya, dua metode yakni kandang koloni
dan dilepas begitu saja di perkebunan bisa mendatangkan beberapa keuntungan. Keuntungan
itu, sebutnya, pihak perkebunan tidak pusing membuang limbah sawit seperti
dahan dan biji yang telah busuk. Karena ada ternak sapi yang menjadikan itu
bahan konsumsinya.
Program
integrasi sapi – sawit, lanjutnya sebagai upaya memenuhi perkembangan
perkebunan dan peternakan di Indonesia. Pemerintah juga memandang Indonesia
pada tahun 2012 bisa menjadi negara swasembada daging.***