Jumat, 10 Februari 2012

Edisi VI




Jawa Tengah
Provinsi Berketahanan Pangan yang Tinggi

Bak sebuah orkestra yang harmonis, di bawah koordinasi Gubernur Bibit Waluyo, iklim pembangunan di Jawa Tengah pun semakin kondusif. Semua stakeholder saling bekerjasama, termasuk dalam upaya  meningkatkan ketahanan pangan.


Kini Jawa Tengah termasuk salah satu provinsi yang “sangat tahan” dalam Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Predikat tersebut diluncurkan oleh Dewan Ketahanan Pangan – Kementerian Pertanian (Kemtan) di Gorontalo Oktober 2011 lalu. Dalam peta tersebut, pada tahun 2010, hanya ada 1 kabupten yang berwarna hijau muda (tahan pangan), sedang 28 Kabupaten dan 6 kota yang lain di Jawa Tengah berwarna hijau tua (sangat tahan).
Disamping kepiawaian Sang Pemimpin (Gubernur – red), prestasi itu juga tidak dapat dilepaskan dari tangan dingin Ir. Gayatri Indah Cahyani, Msi, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Tengah. Menurutnya, kemantapan program Ketahanan Pangan di Jawa Tengah ialah karena program tersebut sinkron dan masuk dalam program besar Pemda Jateng “Bali nDesa, mBangun Desa”.   

“Gubernur kami, di setiap kesempatan bertemu dengan pejabat dan masyarakat selalu menganjurkan pemanfaatan tiap jengkal tanah untuk ketahanan pangan. Dengan kesuburan lahan yang dimiliki, maka aneka tanaman dapat tumbuh. Pak Gubernur selalu menyarankan agar masyarakat dapat memanfaatkan kondisi itu untuk pengembangan diversifikasi pangan, tidak beras saja, tapi juga jagung, ubi-ubian, buah serta sayuran dan sebagainya,” papar Gayatri.

Maka tak heran, kalau skor Pola Pangan Harapan (PPH) Jawa Tengah terus meningkat. Tahun 2006 baru 80, pada tahun 2007 menjadi 82,08, tahun berikutnya naik 83,26, tahun 2009 naik sedikit jadi 83,7 dan pada tahun 2010 menjadi 86,02. Besarnya kepedulian Gubernur Bibit Waluyo, juga telah berhasil mengantarkan berbagai komponen masyarakat Jawa Tengah untuk menerima penghargaan Ketahanan Pangan Nasional.
Pada tahun 2008 tercatat Bupati Boyolali, Pondok Pesantren “Al Hikmah” Brebes dan Gapoktan “Sumber Makmur” Magelang, berkunjung ke Istana Negara untuk menerima penghargaan dari Presiden. Pada tahun 2009 giliran OKKPD Provinsi Jawa Tengah, KWT “Sekar Arum” Cilacap,Pondok Pesantren “Bina Insani” Semarang dan Gapoktan “Sigedong” Temanggung mendapat penghargaan Nasional. Sedang pada tahun 2010 yang diantarkan ke istana untuk menerima penghargaan adalah Bupati Demak, KWT “Budi Rahayu” Blora dan KWT “Barokah” Boyolali.

Peningkatan Akses Pangan Masyarakat
Akses pangan sebagai salah satu pilar utama ketahanan pangan. Masalah akses pangan di masyarakat atau wilayah dapat disebabkan karena adanya masalah pada akses fisik maupun ekonomi. Masalah ”akses fisik” misalnya disebabkan kelangkaan komoditas pangan karena berkurangnya produksi dan terganggunya transportasi. Sedangkan masalah ”akses ekonomi” umumnya dikarenakan rendahnya pendapatan masyarakat untuk membeli bahan pangan.  Kondisi akses pangan masyarakat Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah dalam kurun waktu tiga tahun (2008–2010) terus mengalami penurunan. Penurunan jumlah penduduk miskin tahun 2009 dibanding tahun 2008 menurun sebanyak 464 ribu orang (7,50%), tahun 2010 dibanding tahun 2009 menurun sebanyak 356,5 ribu orang (6,23%), walaupun secara persentase jumlahnya masih cukup tinggi yaitu 16,56 %.
Dengan koordinasi yang berjalan dengan baik di Jawa Tengah, serta kepedulian agribisnis dan dunia pedesaan yang tinggi dari sosok Sang Gubernur, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan; “meski dunia diancam krisis pangan, tapi di Jawa Tengah tidak akan terjadi krisis pangan”.  Semoga.***




Bali Ndeso Mbangun Deso”
Kesejahteraan pun Mengalir di Pedesan

Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan di Jawa Tengah dipertegas dengan program “Bali Ndeso Mbangun Deso”.  Melalui program khas Gubernur Bibit Waluyo itu, orientasi pembangunan diarahkan ke pedesaan secara menyeluruh, termasuk pengembangan SDM dan SDA. Dalam konteks ini, segenap potensi masyarakat Jawa Tengah dikerahkan, mulai dari pengetahuan, keterampilan, teknologi dan informasi, untuk ditularkan kepada masyarakat pedesaan.
Berbagai pelatihan dan penyuluhan pun digiatkan, termasuk dalam rangka pemantapan ketahanan pangan. Disamping itu, dilaksanakan juga program pendidikan bagi masyarakat di lokasi Desa Mandiri Pangan (DMP)”.
Sampai 2010, Jawa Tengah telah melaksanakan Program Aksi Desa Mandiri Pangan di 144 desa yang dibiayai dari APBN (109 desa) dan APBD (35 Desa). Lokasi DMP tersebar di 31 kab/kota (Surakarta dan Semarang). Dari 144 desa yang sudah mandiri sebanyak 78 desa. Sampai dengan 2011 jumlah desa sebanyak 222 desa.
Prestasi lainnya ialah pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat yang sudah lama dilakukan di Jawa Tengah. Kini jumlahnya telah mencapai 7.463  unit (masih aktif sebanyak 605 unit).
Sejak tahun 2009 Provinsi Jawa Tengah melalui anggaran APBD memberikan fasilitasi kepada 69 unit lumbung antara lain berupa: pengisian bahan pangan (gabah), dan sarana lumbung (timbangan, tester, mesin jahit karung, gerobag dorong dan terpal) dengan nilai berkisar Rp. 20 juta – Rp. 32,5 juta. ***



Produktifitas Pertanian Jawa Tengah

Komoditas utama pertanian Jawa Tengah yaitu padi, jagung dan kedelai. Ketiganya mengalami peningkatan dibanding Tahun 2009. Produksi padi tahun 2010 mencapai 10,11 Juta Ton (rata-rata pertumbuhan 5,2%). Surplus beras tahun 2008 sebesar 2,3 juta ton meningkat menjadi 2,9 Juta Ton tahun 2010; Produksi jagung 3,06 Juta Ton (rata-rata pertumbuhan 7,07 %); Produksi kedelai 187,992 Ribu Ton (rata-rata pertumbuhan 6,08%). 
Di bidang perkebunan, sepanjang tahun 2008 - 2010 telah terjadi peningkatan produksi kopi yang mencapai 16,22 ribu ton (rata-rata pertumbuhan 6,55%) dan kelapa (kopra) 179,49 ribu ton (rata-rata pertumbuhan 1,2%). Produksi gula pun dipacu. Bila tahun 2008 sebesar 247.239 ton, ditargetkan menjadi 280.000 ton di tahun 2011, dan akan mencapai swasembada gula Jawa Tengah pada 2013.
Dalam rentang waktu 2008 – 2010 itu juga, produktifitas peternakan pun mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 produksi daging meningkat sebesar 228,19 juta kg, atau naik 24,17% dibanding 2008. Produksi susu 100,15 juta liter (naik 11,38%), produksi telur 250,23 Juta Kg atau naik 30,76% dibanding tahun 2008.***





Hortikultura dan Dampak Globalisasi
Riuhnya Pertarungan, Impor vs Lokal

Banyak faktor yang menyebabkan tidak kondusifnya agribisnis hortikultura di tanah air, mulai soal infrastruktur, pungli, hingga politik dagang internasional.
Lalu apa yang harus dilakukan…?


Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, pada sebuah wilayah di Kabupaten Pasaman – Sumatera Barat, para warga bersuka ria. Tanaman jeruk (keprok siem) yang mereka kelola memberikan hasil yang menggembirakan bagi perekonomian keluarga. Masa itu bertepatan dengan awal berdirinya sebuah direktorat jenderal baru dalam jajaran pembangunan pertanian yang khusus menangani hortikultura. Waktu itu, dalam beberapa hari sekali, seorang petani bisa mengirim satu truk jeruk ke pasar Kramat Jati – Jakarta, atau ke Pekan Baru dan Batam.
Tapi kebahagiaan dan harapan ratusan warga daerah tersebut ternyata tidak berlangsung langgeng. Kini bahkan sulit mencari jeruk yang sama di daerah itu. Hal serupa juga dialami oleh petani jeruk di Berastagi, Sumatera Utara. Begitu kesohornya jeruk Berastagi hingga konsumen di Jakarta biasa menyebutnya “jeruk Medan”.
Ternyata hilangnya jeruk Medan karena memang karena sektor produksi tidak bergairah. Sudah dapat ditebak, karena harga yang tidak mampu bersaing dengan buah-buahan Impor. Alhasil, bagi petani, menanam jeruk Medan merugikan. Harga sering jatuh dan konsumen lebih suka jeruk asal Mandarin (China). 

Banyak faktor yang menyebabkan tidak kondusifnya agribisnis hortikultura, terutama buah-buahan di tanah air. Diantaranya adalah infrastruktur yang tidak mendukung, misalnya membawa Jeruk Medan ke Jakarta jauh lebih sulit dan mahal dibandingkan dari China ke Jakarta.
Selanjutnya ialah pungli. Berapa banyak pos pungli yang dilewati truk pengangkut barang hingga sampai ke Jakarta?
Sementara politik dagang internasional –dimana Indonesia ikut menyepakatinya-- baik secara langsung maupun tidak, telah membuat republik ini terjebak tak berdaya menghadapinya. Buktinya, buah impor dari berbagai negara begitu leluasa membanjiri pasar tradisional di Indonesia. Meski sejumlah pihak menyatakan prosentasenya terbilang kecil di pasaran, namun tak tertutup kemungkinan, volumenya akan membesar dan makin merajalela. Lihat saja, jeruk Mandarin, lengkeng Thailand, apel Fuji dan sebagainya, dengan bangganya dijajakan di atas kereta api ekonomi Jabodetabek.
Buah impor terbesar adalah jeruk mandarin sebanyak 68.194 ton atau 20% dari total impor buah. Diurutan kedua adalah durian sebanyak 20.615 ton. Jumlah ini diperkirakan semakin meningkat dalam dua tahun terakhir ini. Indikasi paling sederhana bisa dilihat dari menjamurnya kios buah yang menjual berbagai buah impor.

Dampak Globalisasi
Seperti pernah dilansir di sejumlah media, Himpunan Alumni IPB geram terhadap kondisi terpinggirkannya buah lokal karena beberapa aspek. Ketua Himpunan Alumni IPB, Said Didu mengatakan kondisi itu disebabkan oleh kurang tersedianya benih berkualitas dalam jumlah memadai, lemahnya kegairahan petani baru untuk produk buah-buahan. Juga kurang memadainya infrastruktur logistik buah. Menurut Said, perlu ada gerakan yang massif dan sistematika agar konsumsi buah lokal dicintai di negerinya sendiri.
Menurut Direktur Budidaya dan Pascapanen Buah Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Sri Kuntarsih, kuatnya arus globalisasi menjadi faktor persoalan ini sulit diatasi. Di sisi lain data PDB menyebutkan buah nasional selama 2005 - 2010 naik sebesar 63,5 persen begitu juga produksi buah naik di kurun lima tahun terakhir hingga 29,21 persen. Menurut Sri, minimnya minat konsumen dan ketersediaan buah lokal terutama di pasar modern juga menjadi penyebab produk dalam negeri kalah bersaing.

Sementara Ketua Dewan Hortikultura Nasional Benny Kusbini mengungkapkan, hingga akhir 2011, nilai impor hortikultura mencapai sekitar 20 triliun rupiah karena pada Januari-Oktober 2011 sudah 17,61 triliun rupiah. Cukup besarnya nilai impor itu merupakan akibat dari ketidakmampuan Indonesia memanfaatkan potensi yang ada. Sementara volume impor berbagai jenis benih hortikultura pada tahun 2012 diperkirakan meningkat 19,8 persen menjadi 4.900 ton dibandingkan dengan perkiraan 2011 yang mencapai 4.090 ton.

Pembatasan Impor
Salah-satu jalan yang ditempuh untuk mengamankan kelangsungan dunia agribisnis ialah strategi pembatasan impor. Hal itu terkait maraknya buah atau produk hortikultura impor akhir-akhir ini.
Kementerian Pertanian memastikan akan melakukan pembatasan impor masuk produk hortikultura, seperti sayuran dan buah, bakal dimulai Maret 2012. "Kebijakan ini efektif berlaku Maret nanti. Saat ini kita mulai melakukan sosialisasi dan menyiapkan karantina yang kuat untuk mengontrol masuknya produk impor produk hortikultura," kata Menteri Pertanian Suswono.
Jadi, selama tiga bulan setelah Peraturan Menteri No 88/Permentan/PP.340/12/2011 (tentang pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan) diberlakukan, Kementerian Pertanian melakukan berbagai persiapan, di antaranya memperketat produk impor yang masuk serta menguji karantina untuk tes kesehatan, keamanan, serta keselamatan setiap produk hortikultura yang masuk.
Selama sepekan, setelah ditandatangani, Kementerian Pertanian memusnahkan produk kentang impor asal Prancis dan China sebanyak 542 ton atau setara 21 peti kemas karena ditemukan kandungan bakteri penyerang tanaman kentang. Suswono mengatakan pemusnahan dilakukan karena produk hortikultura tersebut membahayakan. Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Pertanian tersebut, pelabuhan masuk produk impor hortikultura dikurangi dari delapan menjadi empat.
Suswono menambahkan pelabuhan yang boleh menjadi pintu masuk produk pertanian, terutama buah dan sayuran, ditetapkan di Pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya, Belawan-Medan, Makassar, dan Bandara Soekarno Hatta. Adapun Pelabuhan Tanjung Priok tidak ditetapkan sebagai jalur masuk karena kondisinya sudah melebihi kapasitas.
Ditambahkannya, bahwa impor buah dan sayuran tidak akan dikuotakan, tetapi diperketat melalui pemeriksaan Karantina. Pengetatan impor hortikultura itu, katanya, akan diikuti oleh regulasi dari Kementerian Perdagangan. Kepala Badan Karantina Kementan Banun Harpini mengatakan pihaknya akan segera mengeluarkan persyaratan teknis yang mengatur jenis, waktu dan volume impor hortikultura.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura Indonesia, Afrizal Gindow mengatakan, strategi pengetatan impor yang dilakukan pemerintah melalui sejumlah peraturan akan berhasil jika nilai impor produk hortikultura menurun pada tahun depan.***

dari berbagai sumber
 
Ketahanan Hortikultura
Perkuat Produksi, Pasarpun Disiasati 


Jika masalah dalam negeri bisa diatasi dengan baik (mulai dari segi ketersediaan, kualitas, pasar dan distribusi, permodalan, hingga upaya promosi untuk mempengaruhi mindsett konsumen), maka dengan sendirinya berbagai produk hortikultura impor tidak akan merajalela di pasar lokal.

Sebuah surat elektronik, yang ditulis oleh Dr. Ir. Yul Harry Bahar, Oktober 2010, sampai kini masih ter-posting di dunia maya. Melalui jejaring sosial tersebut, Yul – yang sekarang adalah Direktur Budidaya Sayuran dan Biofarmaka di Ditjen Hortikultura itu menunjukkan, bahwa lahirnya undang-undang Undang-undang Hortikultura merupakan suatu keberhasilan besar, tonggak sejarah dan dasar hukum penting dalam pengelolaan, pengembangan usaha dan perjuangan pembangunan hortikultura ke depan.
Secara tersirat, dengan telah adanya blueprint hortikultura itu, Yul menghimbau, agar berbagai pihak bersemangat dan bekerja lebih keras lagi.
“…Jajaran pimpinan Ditjen Hortikultura merasa bersyukur dan bangga dengan lahirnya Undang-Undang ini, dan menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi positif dalam lahirnya UU tentang Hortikultura ini. Selanjutnya kita perlu mengambil langkah-langkah untuk mewujudkan misi, terobosan dan paradigma yang telah dimuat dalam UU tentang Hortikultura ini
Mari kita rapatkan barisan mensinergikan kegiatan untuk melaksanakan dan mengamalkan Undang-undang ini, sehingga benar-benar bermakna dalam pembangunan hortikultura.” Demikian kutipan bagian akhir surat elektronik (e-mail) yang merupakan refleksi seorang Yul H. Bahar atas keputusan politik yang telah dilahirkan di DPR RI tersebut beberapa hari sebelumnya.
Kala itu, Menteri Pertanian, Dr. Ir. Suswono, MMA, yang hadir mewakili Presiden dalam Rapat Paripurna DPR tersebut untuk menyampaikan pendapat akhir.  Menteri menyatakan, Undang-undang ini sangat strategis dan penting karena melindungi rakyat dan negara untuk mengembangkan hortikultura. Beliau menyampaikan terima kasih atas keputusan politik ini, atas kesediaan DPR menerima usulan masyarakat yang diajukan oleh DHN (Dewan Hortikultura Nasional) dan menetapkannya sebagai hak inisiatif DPR RI.

“Mari Kita Dukung”
Awal tahun lalu, pada sebuah Mall di kawasan Pejaten, SWADAYA bercengkerama dengan Dr. Ir. Ahmad Dimyati. Mantan Dirjen Hortikultura itu mengatakan bahwa aneka produk hortikultura, terutama buah dan sayuran, dalam UU – Hortikultura telah ditegaskan, merupakan bagian dari bahan pangan pokok. “Jadi bicara pangan, tidak hanya karbohidrat saja. Artinya, pengembangan dan pengaturan komoditas buah dan sayuran saat ini menjadi suatu yang tak kalah penting untuk diurus.
Menyikapi maraknya pemberitaan produk hortikultura, antara impor vs lokal, seperti kondisi beberapa waktu terakhir ini, Dimyati berpendapat, bahwa pemerintah bersama dunia usaha harus berinisiatif secara lebih gesit lagi.
Lebih jauh dijelaskannya, bahwa pembangunan hortikultura harus dilakukan secara telaten, komprehensif dan terpadu. Pasalnya, sesungguhnya dari segi keragaman komoditas, Indonesia memiliki potensi yang besar. Seperti contoh, manggis misalnya, sebenarnya Indonesia bisa berproduksi sepanjang tahun, sesuai dengan variasi musim yang dimiliki masing-masing daerah. Begitu juga durian, mangga dan sebagainya. Tanpa disadari kalangan awam, sebenarnya republik ini memiliki jadwal (musim) produksi, dari ujung Nagroe Aceh Darusalam (NAD) hingga Merauke (Papua). 

Seperti dijelaskannya tadi, memang, pengelolaan hortikultura harus secara komprehensif serta saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Di hilir, dalam hal pasar dan konsumsi, dibutuhkan kampanye secara massif untuk mempengaruhi mind sett anak bangsa dalam mengkonsumsi buah tropika nusantara. Di sisi lain, jika produksi di berbagai kawasan (sentra agribisnis hortikultura) tertata dengan baik (diantaranya soal Supply Chain Management/ SCM), maka masalah pasokan pasar di dalam negeri pun akan kuat. Alhasil, dengan sendirinya produk hortikultura impor tidak akan merajalela.
“Dengan payung hukum UU – Hortikultura yang sudah ada, kita diamanatkan untuk lebih seksama mengatur dan mengembangkan agribisnis hortikultura, mulai dari produksi, distribusi, sampai konsumsi,” ungkapnya.
Menurut Ahmad Dimyati, dari segi kelengkapan, strategi pembangunan dan sebagainya, sebenarnya pelaksanaan pembangunan sudah disiapkan sejak masa Dia menjadi orang nomor satu di jajaran pembangunan hortikultura nasional dulu, termasuk dengan lahirnya UU - Hortikultura. “Sebenarnya perangkatnya sudah siap. Sayangnya waktu itu semua dilaksanakan dalam kondisi yang serba terbatas. Tapi sekarang kondisinya sudah lebih baik, termasuk dari segi struktur anggarannya,” jelas Dimyati sembari mengajak semua pihak untuk mendukung dan mendoakan agar upaya yang dilakukan oleh jajaran pembangunan hortikultura nasional mampu membuahkan hasil yang maksimal.
Semoga. ***



Kilas Sentra Produksi
Membangun Etalase Jeruk Siam Banjar

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan memang oke.. Sadar akan potensi hortikultura yang dimilikinya, maka sejak beberapa waktu terakhir tengah dilakukan Program Inisiasi Perbaikan Mutu Jeruk Siam Banjar. Seluas 25 hektar di lahan pasang surut Desa Pejambuan, Sungai Tabuk, dijadikan etalase Jeruk Siam Banjar Kalsel yang – konon-- rasanya paling manis di Indonesia.
Menurut Kepala Bidang Hortikultura - Dinas Pertanian TPH  Provinsi Kalsel, Ir. Djaelani, pilot proyek ini diharapkan mampu mengembalikan citra jeruk Siam Banjar yang dulu nyaris punah akibat serangan CPVD tiga tahun silam serta Banjir 2009. Proyek percontohan yang dikelola Kelompok Tani Karya Membangun – yang sebagian besar anggotanya wanita -- itu diharapkan akan memberikan hasil yang maksimal mulai tahun 2015 mendatang.

Regenerasi Limau Madang
Limau Sungai Madang adalah cikal bakal Jeruk Siam Banjar khas Kalimantan Selatan. Namun akibat terendam Banjir pada tahun 2009 lalu, hampir 80% tanaman jeruk di Desa Sungai Madang mati total. Namun sejak tahun 2011, semangat petani jeruk di daerah itu bangkit kembali. Mereka melakukan peremajaan dan penataan lokasi agar tidak lagi terendam banjir.
Ketua Kelompok Tani Karya Membangun, H. Sabli berharapan, semoga kejayaan  limau Sungai Madang bisa bangkit kembali.***
Ayi Kuswana, Kalsel



TARIF IKLAN MAJALAH SWADAYA

(TAHUN 2012)



FULL COLOUR (FC)

a.     Cover :

-         Halaman Belakang Luar                                 Rp 10.000.000,-

-         Halaman Belakang Dalam                              Rp   7.500.000,-

-         Halaman Depan Dalam                                   Rp   8.000.000,-



b.     Halaman Dalam (Isi) :

-         1  Halaman                                                         Rp   6.000.000,-

-         ½  Halaman                                                        Rp   4.000.000,-

-         ¼  Halaman                                                        Rp   2.500.000,-









TARIF BERLANGGANAN



-         1 Tahun (12 Edisi)                                            Rp  240.000,-

-         ½  Tahun (6 Edisi)                                             Rp  120.000,-

-         3 Bulan (3 edisi)                                                Rp    60.000,-

Hubungi :
  • majalahswadaya@yahoo.com
  • denmustp@yahoo.com 
  • SMS 088 121 83 614





 
Gelombang Impor Pangan yang Makin Tidak Terkendali


Oleh :
Dr. Sinis Munandar, MS*)

Tidak ada yang salah apabila negara kita mengimpor barang yang dibutuhkan dari negara lain, dan sebaliknya, negara lain juga mengimpor barang-barang dari negeri kita, karena hal ini sudah menjadi kesepatan internasional yang diatur oleh WTO (World Trade Organization) mengenai liberalisasi perdagangan atau perdagangan bebas.
Tetapi yang menjadi tanda tanya adalah; mengapa kita sebagai negara agraris yang semestinya mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan untuk masyarakatnya, -- bahkan mestinya mampu mengekspor produk-produk pangan ke negara lain -- tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, dewasa ini kita menjadi negara pengimpor pangan yang cukup besar?
Data dari BPS mencatat, bahwa nilai impor bulan Januari – oktober 2011 untuk komoditi buah, sayur, produk olahan dari buah dan sayur, serta minuman dan produk makanan olahan lainnya mencapai Rp 17,61 trilliun. Dibanding dengan periode yang sama tahun 2010 terjadi kenaikan sebesar 37,47 persen. Realisasi impor beras 2,1 juta ton atau senilai Rp 10,6 trilliun            (dengan kurs Rp 9.175 per dollar US). Impor jagung sejumlah 2,9 juta ton atau senilai Rp 8,61 trililun, kedelai 1,7 juta ton senilai Rp 9,38 trilliun, biji gandum 4,72 juta ton senilai Rp 17,03 trilliun, tepung terigu 0,55 juta ton senilai Rp 2,10 trilliun, gula pasir 0,17 juta ton senilai Rp 1,23 trilliun, gula tebu 1,89 juta ton senilai Rp 11,96 trilliun. Daging sejenis lembu/sapi sejumlah 80,089 juta ton senilai Rp 2,3 trilliun. Belum lagi masih banyak impor sapi hidup, susu, bibit komoditas hortikultura dan yang lainnya.
Apabila dijumlahkan impor komoditi pangan seperti diatas mencapai Rp. 80,82 trilliun. Memang harus diakui pula bahwa kita juga melakukan ekspor seperti kelapa sawit, karet, kopi, the, kakao dan lainnya yang sebagian besar adalah komoditi perkebunan.
Dilihat dari ketersediaan anggaran untuk pangan dari tahun ke tahun terus meningkat. Berdasarkan data yang bersumber dari Kementerian Keuangan, total alokasi anggaran ketahanan pangan 2012 sebagai berikut : anggaran sektor pertanian Rp 17,8 trilliun, program pengembangan sarana dan prasarana pertanian Rp 4,1 trilliun, pengelolaan sumber daya air Rp 8,2 trilliun, program peningkatan produksi pangan Rp 2,9 trilliun, program pencapaian swasembada sapi Rp 2,6 trilliun, pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap Rp 1,3 trilliun, subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin) Rp 15,6 trilliun, subsidi suku bunga kredit pertanian Rp 1,2 trilliun, subsidi benih Rp 0,1 trilliun. Disamping itu masih ada lagi penyediaan dana “korporasi” yang bersumber dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ikut serta dalam pembangunan pangan/pertanian seperti dari PT. PUSRI, PT. PERTANI, PT. SANG HYANG SERI, serta BULOG dalam upaya peningkatan produksi padi. Ditambah lagi rencana pembukaan lahan baru untuk areal pertanian/pangan (food estate) di Kalimantan Timur seluas 250.000 Ha juga ada partisipasi pihak swasta, koperasi untuk ikut menangani program tersebut.
Apabila dilihat dari ketersediaan anggaran untuk membangun ketahanan pangan yang cukup memadai, seharusnya minimal satu atau dua komoditi -- misalnya kedelai, jagung bisa swasembada dalam satu atau dua tahun mendatang, dan tidak ada alasan untuk tidak bisa mencapainya.
Kalau hal ini tidak bisa dicapai, berarti ada yang salah, mungkin dalam perencanaan atau pelaksanaannya. Dari uraian di atas ada baiknya bila kita merenung kembali, apakah jalan yang kita tempuh dalam pembangunan ketahanan pangan/pertanian selama ini sudah benar atau sudah sesuai dengan kehendak dan cita-cita masyarakat agraris, yaitu mampu memproduksi kebutuhan pangan sendiri, baik secara kuantitas maupun kualitas. Peranan pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten, sangat penting bahkan sampai pada tingkat kecamatan dan desa. Inilah tugas pemerintah pusat untuk menggerakkannya.***
*) Pengamat Pertanian, mantan Kepala Badan Pengembangan SDM Pertanian, Dep. Pertanian.







Ir. Sri Kuntarsih, MM
“Buah dari Petani, Wujud Nasionalisme Kita”

Sebenarnya konsumen di Indonesia pun lebih menyukai buah tropika nusantara, karena rasa, kandungan gizi dan aromanya yang jauh lebih baik dibanding buah sub tropika (buah impor). Namun karena buah dalam negeri yang tidak selalu tersedia di pasaran (bersifat musiman), akhirnya konsumen terpaksa makan buah impor. Dalam jangka panjang ini  mengakibatkan pergeseran selera.
Apa dan bagaimana dengan prospek buah dalam negeri..? Berikut wawancara khusus SWADAYA  dengan Ir. Sri Kuntarsih, MM, Direktur Budidaya dan Pasca Panen Buah – Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian RI menjelang penghujung Januari lalu.

Selama ini kita melihat banyaknya buah-buahan impor di pasaran. Ada apa, dan bagaimana agar buah-buahan kita tidak semakin terdesak..? 
Ini merupakan PR (pekerjaan rumah) bagi kita untuk dapat mengembangkan produk (buah-buahan) yang berkualitas, bergengsi dimata konsumen, serta efisien. Sehingga mampu bersaing di pasaran.
Sebenarnya, bila kita lihat secara statistik, dibanding total produksi buah yang dipasarkan dalam negeri, volume buah impor itu sangat kecil. Memang, kalau kita melihat sekilas di pasar tertentu, terutama di kota-kota besar, keberadaan buah impor tersebut sepertinya menyolok. 

Sebenarnya konsumen itu suka dengan buah dalam negeri seperti  jambu, mangga, sirsak dan sebagainya. Namun karena ketersediannya di pasaran tidak setiap saat, maka konsumen mencari alternatif buah jenis lain. Nah….. karena buah impor selalu tersedia, maka terjadi pergeseran selera. Ini dalam jangka panjang memang dapat mengancam buah lokal.
Selanjutnya kita berupaya meningkatkan kontinuitas pasokan, kualitas, promosi, serta upaya sosialisi untuk meningkatkan apresiasi masyarakat akan buah dari negeri sendiri. Ini salah-satu wujud nasionalisme kita.

Dengan makin kerasnya persaingan pasar, bagaimana prospek buah-buahan kita..?
Indonesia sangat kaya dengan buah tropis dan eksotis. Untuk itu sejak beberapa tahun belakangan pemerintah berupaya meningkatkan daya saing buah-buahan nasional, antara lain pengembangan kawasan buah, penataan kebun buah campuran melalui upaya penyeragaman varietas, penyediaan teknologi sarana dan prasarana pascapanen.
Disamping itu kita perlu promosi dan sosialisasi untuk membiasakan masyarakat mengkonsumsi buah setiap hari. Kampanye makan buah, terutama bagi anak usia dini, perlu dilakukan. Berdasarkan survey, selama ini anak kurang suka dengan buah segar, karena  terbiasa mengkonsumsi buah olahan  dalam kemasan atau makanan cepat saji.

Apa saja strategi yang harus dilakukan?
Kita perlu menumbuhkan kesadaran akan keberadaan dan masa depan buah lokal. Kecintaan terhadap buah lokal menjadi cerminan rasa nasionalisme. Dampaknya akan sangat luar biasa jika orang Indonesia lebih memilih buah lokal Indonesia, mulai dari membaiknya perekonomian petani buah, berkembangnya agribisnis buah, penghematan devisa, dan sebagainya.
Promosi di luar negeri pun harus dilakukan. Sebagai contoh salak misalnya, buah ini memiliki penampilan yang eksotik. Lalu bagaimana caranya supaya go global. Begitu juga mangga. Kita mempunyai mangga Arumanis yang merupakan mangga paling enak dibanding jenis mangga apapun di dunia ini.
Hanya saja diperlukan promosi yang berkesinambungan disertai manajemen produksi yang baik. Dengan promosi secara gencar maka permintaan buah-buah tropika nusantara akan meningkat pesat.
Tidak banyak yang tahu, bahwa selama ini secara tidak langsung buah tertentu telah dipromosikan oleh para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri. Waktu kembali dari tanah air (mudik – red), dan saat itu bertepatan musim mangga, mereka membawanya sebagai oleh-oleh. Tanpa disadari, sang majikan (di Hongkong, Arab Saudi, dll) merasakan betapa nikmatnya mangga dari Indonesia dan berupaya untuk mendapatkannya lagi.


Berarti buah-buahan Indonesia sangat disukai oleh konsumen mancanegara. Lalu apa yang harus dilakukan selanjutnya…?
Seperti saya sebutkan tadi, ketersediaan produk perlu diperhatikan.
Kita harapkan, dengan berkembangnya kawasan sentra buah-buahan, maka kontinuitas produksi akan dapat kita jaga. Namun masalah utama yang menjadi kendala adalah karakteristik alaminya yang mudah rusak dan busuk. Dalam hal ini dibutuhkan sentuhan pengetahuan dan teknologi penanganan pascapanen serta dukungan sarana dalam pendistribusian.
Selain itu, orientasi pasar buah hendaknya tidak terfokus pada pemasaran buah segar saja. Diperlukan pengembangan yang industri makanan dan minuman olahan berbasis buah-buahan yang mampu menyerap produksi buah lokal dalam jumlah besar. Untuk menjamin pasokan bahan baku buah, maka – lagi-lagi, harus ada kawasan sentra yang mampu memenuhi kebutuhan industri dalam skala besar.


Dari sekian banyak jenis buah nusantara, komoditas apa saja yang menjadi fokus Kementerian Pertanian  dalam pengembangan saat ini?
Ya… potensi buah tropika kita sangat beragam. Namun dalam pengembangannya, untuk saat pemerintah hanya memfokuskan pada komoditas tertentu saja, yakni mangga, manggis, jeruk, durian dan pisang.
Padahal menurut saya aneka jenis buah-buahan lain juga tak kalah peluangnya untuk menang dalam persaingan pasar global, karena keunikannya.***



URGENTLY NEEDED


Majalah Agribisnis SWADAYA membuka Kesempatan bagi Tenaga Muda Kreatif & Enerjik untuk Menenpati posisi sebagai berikut :

1. TIM REDAKSI
  • Pria / Wanita
  • Pendidikan S1/D3 Pertanian ( Agronomi )
  • Usia Max. 30 tahun
  • Berpengalaman dibidang Redaktur / Reporter
  • Mampu bekerja dalam team

2. MARKETING EXECUTIVE
  • Wanita
  • Pendidikan S1 atau D3 semua jurusan
  • Berpenampilan Menarik, Lincah dan Komunikatif
  • Usia Max. 35 tahun
  • Berpengalaman sebagai Marketing atau bagian Periklanan
  • Mampu Bekerja dalam  team

Bagi yg Serius Kirimkan Biaodata Lengkap disertai Foto terbaru, Via E-mail atau Pos ke :
Redaksi & Tata Usaha Majalah SWADAYA
Jl. Tanjung Barat Selatan No. 20 F, Jakarta Selatan 12530
E-mail : majalahswadaya@yahoo.com






Integrasi Sapi – Kelapa Sawit
Terobosan Baru Ekonomi Nasional

Peluang keuntungannya berlipat ganda. Tampaknya, inilah trend baru dunia agribisnis nasional. Berbagai daerah pun mulai bergerak…

Kecerahan tampaknya membayangi dunia agribisnis nasional. Peluang ekonomi baru tersebut, kini makin terbuka di beberapa daerah. Prospeknya pun sangat meyakinkan.
Seperti diungkapkan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Ir. Syukur Iwantoro, MBA, bahwa berdasarkan beberapa analisis, dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh program integrasi antara peternakan sapi dengan perkebunan kelapa sawit sungguh berlipat ganda.
Mengapa tidak? Ditinjau dari aspek permintaan daging, ketersediaan pakan serta pemanfaatan kotoran sapi (pupuk organik) dalam jumlah yang besar, maka integrasi dua kegiatan agribisnis tersebut memang sudah saatnya digiatkan secara nasional. Di sisi lain, produksi limbah pertanian (kelapa sawit – red) yang sangat banyak merupakan sumber pakan yang ketersediannnya kontinue sepanjang tahun.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai faktor pembatas dalam pemanfaatanya sebagai pakan. Limbah kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan adalah : pelepah sawit, lumpur sawit, bungkul inti sawit. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pelepah sawit mengandung protein sebesar 1,9%, lemak 0,5% dan lignin 17,4%, Kombinasi serat buah (25%), BIS (15%) dan lumpur sawit (10%) dengan total kontribusi 50% dapat digunakan untuk sapi.
Disamping memanfatkan limbah hasil kelapa sawit, sapi yang intgerasikan dengan kelapa sawit ini juga bisa memakan gulma yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit. Tanaman penutup lahan (cover crop) juga bisa dimanfaatkan sebagai hijauan.
Untuk menunjang keberhasilan sistem integrasi  ternak dengan perkebunan kelapa sawit dibutuhkan teknologi tepat guna dan sosialisasi berkelanjutan dalam hal pengolahan limbah perkebunan/pabrikan sebagai sumber pakan ternak, pengolahan kompos yang berkualiatas dalam waktu pendek, pendugaan kapasitas tampungan lahan perkebunan untuk jenis ternak tertentu, serta manajemen pemeliharaan ternak yang intensif.
Disamping itu, ternak sapi yang diintegrasikan dengan kelapa sawit juga bisa dimanfaatkan sebagai penarik gerobak maupun mengangkut hasil panenan kelapa sawit dan kotoran sapi bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, yang mana pada akhirnya bisa menghemat biaya produksi.

Semangat Baru
Semangat “integrasi agribinis” pun telah berkibar di Sumatera Selatan, bahkan ini telah berlngsung sejak beberapa tahun di Bumi Sriwijaya itu.
Tahun 2009 lalu, pemerintah provinsi itu pernah menyatakan, akan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) guna memaksa perusahaan besar perkebunan untuk mendukung program integrasi sapi-sawit. Dengan Perda tersebut tidak ada alasan lagi bagi para pengusaha perkebunan untuk menghindar dari program yang sebenarnya sangat menguntungkan tersebut. Disamping itu juga untuk memenuhi target swasembada daging Sumsel. Pemprov pun tidak main-main dengan program itu dan telah menganggarkan dana dari APBD sebesar Rp 3,4 miliar. 

"Sumsel punya 640.000 hektare sawit. Jika 100.000 hektare saja diintergasi sapi, pada tahun pertama sudah bisa menghasilkan 200.000 ekor sapi potong," tegas Alex.
Menurut dia, kebutuhan sapi potong Sumsel 12.000 ekor per tahun yang sebagian dipenuhi oleh daging impor.


Memang, pemerintah belum mewajibkan daerah melaksanakan program tersebut. Namun yang menggembirakan, kini beberapa daerah sudah mampu melihat betapa besarnya peluang ekonomi dari integrasi dua kegiatan agribisnis yang saling mendukung antara satu dengan lainnya tersebut.
Lihat saja Kalimantan Barat (Kalbar) misalnya. Pemerintah provinsi itu tampaknya telah menangkap sinyal prospek cerah integrasi sapi dengan perkebunan kelapa sawit bagi kemajuan ekonomi daerah di masa depan.
Saat berkunjung ke daerah itu beberap waktu lalu, Menteri Pertanian Suswono menyatakan, bahwa Kalbar memiliki peluang luas meningkatkan produksi sawit dan sapi, jika program integrasi itu dijalankan. Menurutnya, dua metode yakni kandang koloni dan dilepas begitu saja di perkebunan bisa mendatangkan beberapa keuntungan. Keuntungan itu, sebutnya, pihak perkebunan tidak pusing membuang limbah sawit seperti dahan dan biji yang telah busuk. Karena ada ternak sapi yang menjadikan itu bahan konsumsinya.
Program integrasi sapi – sawit, lanjutnya sebagai upaya memenuhi perkembangan perkebunan dan peternakan di Indonesia. Pemerintah juga memandang Indonesia pada tahun 2012 bisa menjadi negara swasembada daging.***