Bicara makan,
maka saat ini kita sedang dihadapkan dengan dunia yang tua, bumi (tanah) yang
sudah sempit, rusak, dan – seperti
dicemaskan -- tak mampu lagi memenuhi permintaan penduduk dunia yang tumbuh
pesat. Meski ada teknologi, namun lahan tetap menjadi hal utama yang tak dapat
diabaikan perannya dalam peningkatan produksi pangan.
Meningkatnya insiden kelaparan dunia,
yang melonjak sekitar 200 juta dalam 2 tahun terakhir -- yang dipicu oleh kombinasi
dari tingginya harga pangan, krisis finansial, menipisnya cadangan energi, dan
perubahan iklim – adalah momok yang mengerikan. Disamping berbagai faktor yang
telah disebutkan tadi, salah-satu yang juga menjadi pangkal masalahnya adalah
soal tanah (lahan) untuk pertanian.
Di Bumi Pertiwi
ini, lahan masih terbentang luas untuk digarap, meski untuk itu kita pun tak
lepas dari berbagai perdebatan, diantaranya soal isu lingkungan dan sebagainya.
Apabila lahan yang
dimiliki petani memadai, maka volume komoditas yang dihasilkan akan meningkat
linier dengan pendapatan. Dengan demikian, swasembada beras yang sudah dicapai
dapat dipertahankan. Cukup banyak terobosan baru yang dilahirkan oleh para
penentu kebijakan di negeri ini dalam rangka antisipasi ancaman rawan pangan di
masa depan.
Misalnya pencetakan sawah baru di wilayah
tertentu, pembukaan lahan gambut, food
estate dan sebagainya. Dalam hal mendorong upaya budidaya di tingkat
petani, selain memberi penyadaran serta sosialisasi teknis melalui penyuluhan,
berbagai sarana produksi pun tersedia, mulai dari benih hibrida, pupuk, serta
sarana perlindungan tanaman dengan berbagai teknologi terkini. Tak cukup sampai
di situ, promosi keanekaragaman pangan (diversifikasi) pun digalakkan agar
beban konsumsi yang semata-mata tertumpu pada beras dapat dikurangi, karena
masih banyak jenis bahan pangan lain yang dapat dimanfaatkan di Bumi Pertiwi
ini.
Harapannya adalah, bagaimana ketahanan
pangan anak bangsa dapat diciptakan.
Kalau hal
tersebut memang terwujud, maka prospek besar pun terbentang di depan mata. Bumi
Pertiwi, tempat kita berpijak ini akan menjadi harapan makhluk bernama manusia
sejagat raya. Mengapa tidak? Karena saat ini dan dimasa mendatang, ratusan juta
manusia di berbagai negara terancam kelaparan akibat rawannya persediaan bahan
pangan. Apalah artinya sebuah negara adidaya -- dengan kelebihan dana,
kecanggihan teknologi, serta industri yang kuat, bila ternyata mereka tidak
memiliki ketersediaan bahan pangan yang cukup?
Dalam hal diversifikasi pangan, sedapatnya
kita mengupayakan agar tidak selalu mengkonsumsi beras, tapi digantikan nasi
jagung, sagu, ubi jalar, sukun, pisang, labu kuning dan sebagainya. Semangat
diversifikasi pangan telah bergema – mungkin -- sejak puluhan tahun belakangan,
namun sayang, gaung tersebut tampaknya belum mampu memberikan dampak berarti
bagi perilaku konsumen di negara kita, terutama dalam hal keragaman pangan yang
dikonsumsi.
Kita hanya bisa berharap, dan terus
berharap, agar setiap event, hajatan negara, atau apapun istilahnya yang
berkaitan dengan pertanian, pangan, gizi generasi serta kesejahteraan petani
dan sebagainya, benar-benar “mangkus”
dalam memberikan perubahan positif bagi anak bangsa. Amin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar